OLEH : PUTU MUDIANTARA (Ketua UKM Dharma Wacana IHDN Denpasar Periode 2010-2011)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kasus salah pati seringkali terjadi belakngan ini karena disebabkan oleh beberapa faktor penentu yang sangat berpengaruh terjadinya kematian tersebut. Salah Pati adalah salah satu bentuk kematian yang tanpa disengaja oleh suatu individu dan diluar kehendak. Fenomena ini sering terjadi dikalangan umat hindu khususnya di bali. Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 mendefinisikan bahwa salah pati adalah mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki.

Dalam pengertian ajaran Hindu mati itu ada dua tinjauan. Tinjuan dari sudut Tatwa dan sudut Upacara.Wrhaspati Tattwa disebutkan sebagai berikut….. kala ikang ngarania wih, turun mapsah lawan panca maha bhuta juga tekang atma ri sarira ikang aganal juga hilang ikang atama langeng  tan malah apan ibek ikang rat kabeh dening Atma.

Artinya : pada waktu mati namanya, hanya berarti berpisahnya Panca Maha Bhuta dengan Atman yang ada pada tubuhnya. Hanya badan kasanya saja yang lenyap sedangkan Atmanya tetaptakberubah, sebab ala mini penuh dengan Atma.

Jadi mati atau meningal menurut konsep tatwa apabila jiwa atau atman orang itu sudah lepas berari orang itu sudah disebut meningal namun menurut pandangan upacara meningalnya tersebut belum sah. Belum dapat keluarga mengambil cuntaka atau pernyataan bela ungkawa secara adat., ibarat sebuah bangunan rumah. Meskipun sudah selesae secara fisik, kalau rumah itu belum diupacarai secara umum maka yang disebut mepelaspas maka rumah itu belum dapat dikatakan selesae. Demikian juga dengan orang meningal meskipun secara tatwa sudah meningal namun perlu juga untuk meningalnya itu disahkan menurut upacara Agama Hindu yang disebut Atiwa-tiwa.

Fenomena kematian salah pati serigkali terjadi, kasus seperti ini tentunya membutuhkan penyelesaian dan berbagai tindakan untuk mencegah hal seperti ini, berdasarkan hal tersebut perlu kajian kasus ini dalam berbagai elemen masyarakat khususnya para akademisi.

I.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan diaatas maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan yaitu :

  1. Bagaimana Konsep mati menurut pandangan Hindu?
  2. Apa itu hakikat salah pati?
  3. Bagaimana keadaan atma salah Pati?
  4. Bagaimana pengembalian Atma Salah Pati?
  5. Bagaimana Pelaksanaan Upacara Salah Pati?

I.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut :

  1. Mengetahui dan memahami hakikat salah pati
  2. Mengetahui cara pengembalian atma salah pati
  3. Mengetahui prosesi upacara kematian salah pati
  4. Mengetahui konsep mati menurut pandangan Agama Hindu
  5. Mengetahui keadaan atma mati salah pati

I.4        Metode Pengumpulan Data

Adapun metode yang dipergunakan untuk menyelesaikan tugas ini adalah sebagai berikut.

  1. Metode Kepustakaan

Metode Kepustakaan yaitu metode yang kami gunakan untuk menyusun laporan ini dengan cara mencari data dari buku – buku yang berhubungan dengan penyusunan laporan ini.

 

BAB II
PEMBAHASAN

II.1.  Konsep Mati Menurut Pandangan Hindu

Berbakti pada leluhur tidak semata saat beliau masih hidup saja.bhakti pada leluhur menurut ajaran Hindu dilakukan sampae leluhur itu berada dialam Niskala.  Karena itu saat leluhur itu meningal rasa bhakti itu pun dilakukan dengan merawat jenazah beliao yang sudah meninggal. Kalau dipandang secara filosofis setelah Atman itu tiada dibadan maka badan itu tidak ada bedannya dengan benda lainya. Namun dari sudut pandang Agama meskipun badan yang hanya merupakan sisa-sisa Panca Maha Bhutha itu harus dirawat dengan sebaik-baiknya. Karena badan kasar itu sangat berjasa menjadi alat Atman melakukan berbagai kegiatan    selama hidup didunia ini.

Badan yang ditingalkan oleh Atman atau jiwa itu tidak dapat diangap sampah begitu saja terus ditanam atau dibakar tanpa arti. Adanya perawatan jenazah bagi orang yang telah meningal sebagai bukti bahwa manusia itu memiliki budaya. Dalam Lontar Dharma Khuripan adanya upacara Agama bagi manusia dari saat lahir sampai meningal itu merupakan cirri perbedaan kita manusia dengan hewan. Mengenai pengertian mati maupun meningal ini dalam ajaran Hindu ada beberapa hal yang wajib kita perhatikan. Kalau dalam Sarasamusccaya 179 disebutkan orang yang dalam hidupnya tidak pernah melakukan dana punia itu sama halnya dengan mati, bedanya Ia hanya bernaFas. Kalau dalam hidup ini kita tidak pernah berbuat Dharma seperti Berdana Punia melakukan Yajna dan tapa itu sama juga dengan mati. Atau sering disebut mayat bernafas. Dalam pengertian ajran Hindu mati itu ada dua tinjauan. Tinjuan dari sudut Tatwa dan sudut Upacara.Wrhaspati Tattwa disebutkan sebagai berikut….. kala ikang ngarania wih, turun mapsah lawan panca maha bhuta juga tekang atma ri sarira ikang aganal juga hilang ikang atama langeng  tan malah apan ibek ikang rat kabeh dening Atma.

Artinya : pada waktu mati namanya, hanya berarti berpisahnya Panca Maha Bhuta dengan Atman yang ada pada tubuhnya. Hanya badan kasanya saja yang lenyap sedangkan Atmanya tetaptakberubah, sebab ala mini penuh dengan Atma.

Jadi mati atau meningal menurut konsep tatwa apabila jiwa atau atman orang itu sudah lepas berari orang itu sudah disebut meningal namun menurut pandangan upacara meningalnya tersebut belum sah. Belum dapat keluarga mengambil cuntaka atau pernyataan bela ungkawa secara adat., ibarat sebuah bangunan rumah. Meskipun sudah selesae secara fisik, kalau rumah itu belum diupacarai secara umum maka yang disebut mepelaspas maka rumah itu belum dapat dikatakan selesae. Demikian juga dengan orang meningal meskipun secara tatwa sudah meningal namun perlu juga untuk meningalnya itu disahkan menurut upacara Agama Hindu yang disebut Atiwa-tiwa.

Atiwa-atiwa ini adalah proses perawatan jenasah orang meningal hal ini diuraikan dalam lontar Pratekaning Wong Pejah. Setelah jenazah itu dirawat menurut ketentuan Atiwa-tiwa barulah orang tersebut iangap sah meningal menurut upacara Agama Hindu di Bali. Secara umum jenazah itu dimandikan dengan air bersih (toyo anyar) kemudian dimandikan dengan toyo kumkuman terus dirawat dengan Bablonyoh putih kuning, mekeramas, mekerik kuku dan lain-lain dan setelah itu disembahhyangkan dengan cara memercikan tirta penglukatan tirta pembersihan tirta pengentas tanem tirta kawitan, atau tirta betara Hyang Guru dan tirta kahyangan tiga hal ini melambangkan bahwa yang bersangkutan untuk  matur piuning entang dirinya telah meningal dan mepamit sebelumnya terakhir melangsungkan upacara mapepegat dengan sanak keluarga umunya keluarga yang satu merajan setelah mapepegat yang maknanya berpisah barulah jenazah itu digulung.

Setelah digulung barulah orang itu diangap sah meningal menurut ketentuan upacara setelah digulung barulah dibawa kebale gede kalu keluarga itu punya rumag adapt yang disebut balai gede dibalae gede itu ada patung garuda sebagai lambang agar  diampuni dosa-doasanya. Setelah dibalae gede ada dua pilihan upacara apakah akan diaben langsung, apakah akan langsung ia tanam atau diaben tentunya terantung keluarga yang memiliki keluarga yang meningal tersebut. Yang jelas setelah digulung. Dengan kain kapan proses meningal sudah sah menurut Upacara Agama.

II.2. Hakikat Salah Pati

Salah Pati adalah salah satu bentuk kematian yang tanpa disengaja oleh suatu individu dan diluar kehendak. Fenomena ini sering terjadi dikalangan umat hindu khususnya di bali. Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 mendefinidikan bahwa salah pati adalah mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki.

Kasus salah pati seringkali terjadi elakngan ini karena disebabkan oleh beberapa factor penentu yang sangat berpengaruh terjadinya kematian tersebut. Adapun beberapa jenis kematian salah pati yaitu :

  1. Mati jatuh (kerubah baya).
  2. Mati ketekuk (kastha bahaya).
  3. Mati dimangsa macan, dimangsa buaya, ditanduk sapi, disambar petir, tertimpa tebing dan lain- lainnya (keserenggara).

II.3  Keadaan Atma Setelah Mati Salah Pati

Utarayana adalah saat dimana siang harinya alam para dewata atau mahluk Siddha Loka yang lain. Secara keseluruhan perhitungan perputaran waktu, yang berdasarkan perhitungan dari nemisha hingga Kalpa. Menyebutkan bahwa satu kedipan mata manusia normal adalah satu nemisha.

15 nemisha membentuk satu Kastha, dan 30 kastha membentuk satu Kala. 30 Kala membentuk satu Muhurtha, dan 30 muhurtha adalah membentuk satu hari yang disebut dengan Ahoratra. Satu tahun para manusia di bumi, itu sama dengan satu harinya para Dewata. Jadi siang hari di alam kadewatan adalah Utarayana, sedangkan saat malam harinya adalah Daksinayana.

Utarayana, dalam kitab Mahabharata adalah sebuah rentan waktu dimana matahari sebagai pusat tata Surya kita bergerak menuju kea rah utara. Itu waktu yang paling baik, paling tepat dan paling istimewa dalam melakukansebuah perljalanan yang abadi bernama kematian.

Bagi para sadhu, atau wiku yang sakti. Bahkan manusia yang sudah sadar akan sebuah kebenaran sejati, tahu akan rahasia dunia, ahli batin yang hebat, serta mengetahui rahasia ini, maka mereka akan memilih waktu kematian di saat matahari menuju arah utara ini yang disebut dengan Utarayana.

Bhisma Putra Gangga, dalam Mahabharata, dikatakan menghembuskan nafas terakhirnya saat Utarayana. Jiwanya mencapai sebuah alam kelepasan, dan ia menjadi satu insan yang pulang ke pangkuan Tuhan dengan selamat. Dalam kita Bhagawad Gita, jika seseorang meninggal saat Utarayanha, maka jiwanya akan bersatu dengan Tuhan.

Ada satu perbedaan yang mendasar, yang disebut dengan waktu kematian Utarayana dengan Daksinayana. Bhagawad Gita mengklasifikasikan manusia yang paham akan kebenaran, orang saleh dan para bijak dengan mengambil jalan kematian saat Utarayana. Sedangkan ada juga manusia yang emngejar kebatinan, ilmu kelepasan, namun belum pada tataran sadar akan Yang Maha Mutlak, meskipun ia berkehendak mati di Utarayana, namun ia akan secara sadar mati saat berkabut, malam  hari, selama dua minggu setelah bulan purnama, atau selama enam bulan saat matahari berada di arah selatan atau daksinayana, maka setelah ia menanggalkan badan jasmaninya, ia akan menuju alam Bulan. Namun ia akan terkena reinkarnasi kembali, lahir ke dunia dan menjalani kehidupan kembali.

Namun bagi saat kematian yang paling baik adalah disebutkan dalam kitab Bhagawad Gita yakni :

Agnir Jyotir ahah suklah

San masa utarayana

Tatra prayata gacchanti

Brahma brahma vido janah.

“Orang yang mengenal Brahman paling utama mencapai kepada Yang Maha Kuasa dengan cara meninggal dunia selama pengaruh Dewa Api. Dalam cahaya, saat waktu siang hari. Selama dua minggu menjelang purnama, atau selama enam bulan pada waktu matahari berjalan menuju arah utara.”

( Bhagawad Gita.8.24)

Satu hal yang perlu digaris bawahi, selama masa penantian kematian, seseorang yang hendak menjemput ajal, harus senantiasa mengingat akan atribut, Lila, nama suci dan mantra Weda dan juga Tuhan atau Brahman.

Satu interpretasi yang terdapat dalam lontar ini sesuai dengan isi dari Weda, adalah waktu yang tepat adalah Utarayana. Kita tidak dapat mengelak dari kematian, namun dapat memilih waktu  kematian tersebut. Orang yang mati saat matahari menuju arah Utara, saat siang hari, saat dua minggu sebelum bulan purnama, adalah akan mencapai alam Brahmajyotir.

Sebuah alam yang merupakan nirguna-Nya Purusottama, Tuhan yang maha mulia. Dalam tataran ini. Kematian itu  mencapai dengan yang namanya kesatuan dengan nirguna. Namun sandaran dari nirguna tersebut adalah pribadi Tuhan yang memiliki badan Sat, Cit, Ananda.

Dengan kata lain. Baik secara sengaja atau  tidak, seseorang meninggal dunia pada saat yang disebutkan di atas, maka ia akan dituntun perjalanannya oleh dewa-dewa yang menguasai unsure api, cahaya dan juga perputaran siang dan malam.

Ada satu perbedaan yang paling menonjol yang terdapat dalam keterangan lontar ini dengan yang terdapat dalam Bhagawad Gita. Jika dalam lontar Yama Purwana Tatwa ini, seseorang dikatakan akan masuk ke alam yang lain, bukan ke sorga loka. Sedangkan untuk Utarayana akan masuk ke alam sorga.

Jika dikatakan manusiayang meninggal saat Utarayana adalah yang mencapai sorga, jagi tataran sorga itu adalah di bagian Nirguna dari Tuhan. Sedangkan menurut keterangankitab Purana yang lain, Sorga adalah kahyangan atau alam yang jauh lebih di bawah dari Brahmajyotir.

Secara umum, alam dalam seluruh literature Weda, dibagi menjadi tujuh Loka dan jutuh Patala. Ketujuh Loka adalah bagian naik, atauketas. Semakin naik,berarti semakin tinggi kwalifikasi rohaninya, semakin mantap spiritualnya saat ia hidup, dan semakin menunjukkan kesucian. Tujuh Loka itu ialah :

–          Bhuh Loka ( atau alam Bumi. Tempat dimana kita menjalankan sebuah aktifitas dan berbuat baik ataupun buruk).

–          Bhuvar Loka adalah alam diatasnya. Sebuah difinisi dari beberapa orang suci, mengatakan bahwa alamini merupakan alam para leluhur.

–          Swah Loka inilah yang disebut dengan Sorga. Sebuah tempat dimana para Dewata dipimpin oleh Bhatara Indra berdiam dan bersemayam.

–          Mahar Loka. Diatas sorga ada alam bernama Mahar Loka.

–          Jana Loka. Sebuah alam yang lebih tinggi lagi dari mahar Loka.

–          Tapa Loka adalah alam dimana membentuk vertical yang lebih utama dari Jana Loka.

–          Satya Loka adalah alam dimana ada sebuah kesetiaan, kebenaran dan para siddha yang bersemayam disana.

Jadi apakah Sorga merupakan perhentian sejati ? jawabannya adalah TIDAK. Sorga bukan perhentian sejati manusia yang mati, tapi sebuah terminal sementara. Di atas itu ada alam bernama Waikuntha Loka, sebuah alam tanpa kecemasan, dan ala mini hanya untuk para manusia yang selama hidupnya menjadi pemuja, pelayan dan penyembah Wishnu.

Sebuah pancaran sinar yang merupakan aspek nirguna dari Purusottama atau Tuhan Yang Utama. Disanalah batas antara alam material dan juga alam rohani. Jadi secara pengertianumum, sorga juga merupakan alam material, sebab disana terdapat senang, sedih. Bahagia, dan juga susah, baik dan juga buruk. Sebuah alam dimana dualisme masih tersisa. Batas dari itu disekat oleh Brahmajyotir, dan diatas Brahmajyotir, ada Waikuntha Loka tadi.

Namun Waikuntha Loka bukanlah sebuah alam yang satu satunya menjadikan seluruh tataran alam semesta itu berakhir. Ada satu alam yang lain disebut Goloka Wrdawana, atau kahyangan Narayana sebagai Tuhan.

Lalu jika demikian adanya, tampaknya jika diinterpretasikan maka lontar Yama Purwana Tatwa ini adalah sebuah lontar yang bertutur alam kematian yang berdasarkan konsep Siwa, serta dewata secara umum yang ada dan berstana di Sorga Loka. Serta ada satu yang menjadikan sebuah focus pembicaraan yama Purwana Tatwa ini mengenai neraka. Sebab Bhatara Yama adalah seorang dewa yang membawahi sekian banyak neraka.

Neraka inilah sebuah alam yang diperuntukkan bagi para pendosa. Para pendosa akan melihat wujud Bhatara yama yang menakutkan ini memiliki 22 tangan dengan senjata terhunus semuanya. Namun bagi para Sadhu, perwujudan Bhatara Yama akan tampak berbeda.

Ada kasus korban meninggal tiba – tiba karena kecelakaan, seseorang yang terlempar keluar dar badan fisiknya. Dalam keadaan kesadaran sepenunya dan dalam keadaan sedang melakukan sesuatu pada saat kematiannya akan mungkin meneruskan kegiatanya sementara waktu di alam halus, karena ia tidak menyadari kematiannya. Ini desebabka karena badan astralnya telah terlepas dari badan fisiknya dengan seluruh badan etherisnya masih dalam keadann utuh yang berarti bhawa semu zat astral dan etherisnya ang sangat dekat dengan alam fisik masih mengelilingiya. Karena itu ia masih sadar sepenuhnya akan dunia fisik walapun dunia ini mulai memberi pemandangan – pemandangan yang agak berbeda.

Untunglah bahwa keadaan yang tidak menyenagkan itu tidak berkelanjutan dan segera berubah menjadi keadaan yang selaras dengan cirri – ciri orang itu, maupun dengan sifat – sifat yang didalaminya. Mereka yang selama hidupnya masih berrsifat ramah tamah, patuh, suka dan damai tentu saja tidak mempunyai daya tarik bagi lingkungan kasar dan penuh kekerasan. Boleh dikatakan lingkingan kesadarannya buyar menghindari suasana semacam itu. Orang yang berrsifat mementingkan diri sendiri dan berhati mulia segera menjadi tidak ingat apa – apa mengenai segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sewaktu mengalami kecelakaan yang membuat ia meninggal . ia segera memasuki keadaan tidur yang sangat tenang dan serasi yang berlangsung sampai ia bangun secara wajar di alam astral yang lebih tinggi atau alam surga ke mana ia ditarik untuk mencapainya.

II.4  Pengembalian Atma Salah Pati Perspektif  Tragedi Kuta

Sebagai orang yang lahir, besar dan telah puluhan tahun hidup di wilayah Kuta dan lainnya, saya ingin menyampaikan ungkapan perasaan atau kata hati ini atas tragedi bom yang ada di daerah kita dan tragedi-tragedi lainnya di Bali. Kalau kita cermati Pulau Bali, sebagai manusia yang memiliki kepala, badan dan kaki, serta orang yang tinggal di Bali, yang mestinya paham minimal tentang sor singgih dan hulu teben, maka wilayah Kuta tidak lebih hanya lututnya Bali. Ketika orang lebih senang memuji otak di kepalanya sebagai organ yang sangat disanjung untuk kehidupan materi spiritual, saya melihat justru lutut adalah bagian penting ketika kita harus berjalan untuk mengejar materi spiritual itu. Dan tatkala Kuta (lututnya) Bali dihancurin, maka seluruh organ tak bisa bergerak apalagi berlari untuk meneruskan perjalanannya sendiri, termasuk dipapah atau dipandu orang.

Saya tidak tahu apalagi paham masalah niskala, spiritual, agama dan agama Hindu yang baik, apalagi baik dan benar. Untuk itu saya ingin bertanya dan juga ingin menyampaikan perasaan atau apa yang saya rasakan atas beberapa hal yang telah diwacanakan atau yang telah dilaksanakan terkait dengan tragedi tersebut (ngulapin, guru piduka, ngaben, mecaru).

Ngulapin, orang Hindu di Bali, acara ngulapin dengan upakara-nya sangat sering dilakukan, dan merupakan keharusan, walaupun kejadian kecil yang menimpa diri, atau suatu upacara yang akan dilakukan. Upacara lan upkara guru piduka, kalau tidak salah mungkin terlalu kasar tafsir pemaknaan saya di mana upacara ini dilakukan dengan sarana (upakara) yang bervariasi adalah bertujuan memohon maaf ke hadapan Yang Maha (Ida Hyang Widhi) atas kejadian yang telah terjadi.

Ini sering dilakukan ketika suatu kejadian telah terjadi, termasuk tragedi bom di Kuta. Di sini saya mau bertanya kepada instansi terkait, pinandita, para rsi, sri mpu yang sangat saya hormati atau siapa pun yang menguasai dan tahu tentang sastra itu. Upacara guru piduka, sudah selalu dilakukan di setiap ada kejadian, tragedi bencana yang menimpa Bali ini (yang saya tahu: musibah di pura, tanah longsor, tebing ambrol, air Ngaben, hanya satu kata tetapi padat makna terutama diteropong dari sastra agama Hindu terlebih Hindu di Bali. Pernah dilakukan tidak kepada manusia melainkan kepada hewan/binatang (maaf karena itu yang real saya lihat walaupun saya sangat percaya itu ditujukan kepada jero ketut (bikul), tapaan, unen Ida (penyu) dan bahkan kepada orang yang di luar konteks Hindu kekinian (Raja Siliwangi).

Menurut kepercayaan saya sebagai penganut agama Hindu di Bali, ngaben adalah untuk mempercepat, membantu menyatunya Atman dengan Paramaatma dengan segala prosesi sejak seseorang mati sampai ngelinggihang dan upacara masemaya di sanggah kemulan. Ini real dilakukan kepada manusia yang telah mati yang kebetulan beragama Hindu di Bali.

Kemudian terkait dengan kejadian di Kuta (bukan tragedi bom saja) kejadian di tempat lainnya di seluruh Bali yang jelas-jelas menjadikan manusia sebagai korban terlepas dari Hindu atau tidak, tidakkah upacara ini sepantasnya dilakukan? Dan mengenai tempat, yang pernah saya baca di harian Bali Post beberapa hari lalu oleh teman-teman yang telah duluan urun rembug untuk tidak mengadakan upacara ngaben di tempat kejadian adalah benar. Menurut saya memang tak mungkin ngaben di tempat kejadian di mana pun di Bali, karena telah ada tempat-tempat yang dibolehkan dan dibenarkan untuk ngaben.

Untuk itu perlulah kiranya segera diadakan perembugan bersama terutama yang tahu dan menguasai sastra tentang ngaben, yang lagi sedang berkuasa yang bisa mengambil langkah atas kekuasaannya berdasarkan saran sang tahu sastra itu. Ini untuk menjelaskan perlu-tidaknya mengadakan upacara ngaben tersebut, sehingga jelas jadinya. Mecaru, sebagai persembahan kepada sang kala dan pembersihan atas tempat sang kala melakukan perusakan, kapan dan bagaimana harus dilakukan untuk di Kuta dan Bali secara utuh, selain upacara pecaruan pengerupukan penyepian tahun baru Caka yang juga bobotnya tidak seperti ketika Bali masih belum modern.

II.5  Pelaksanaan Upacara Salah Pati

Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 yang telah memutuskan bagi orang mati salah pati dan ngulah pati diupacarai seperti orang mati normal dan ditambah dengan penebusan serta diupacarai di setra atau tunon yaitu dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Setiap orang meninggal harus diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu
  2. Khusus bagi yang ngulah pati, upacara/ upakara ditambah dengan banten pengulapan di tempat kejadian, perempatan/ pertigaan jalan dan cangkem setra:
  3. Banten pengulapan dipersatukan dengan sawanya baik mependem maupun atiwa- tiwa.

Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).
Pitra Yadnya berasal dari bahasa Kawai.Pitr artinya leluhur dan Yadnya berarti korban suci yang tulus iklhas.Pitra Yadnya adalah suatu kewajiban dari preti sentana sebagai wujud bakti kepada leluhur sesuai dengan Panca Srada yaitu Widhi Tatwa, Atma Tatwa, Purnabhawa,Karma Phala,dan Moksa.Anak yang berbakti kepada orang tua dinamakan Putra, dalam bahasa sansekerta Putt berarti neraka dan ra berarti menghindarkan atau menyelamatkan.Maka putra berarti anak yang menghindarkan orang tua atau leluhurnya dari neraka.Seorang suputra (su artinya baik) yang melaksanakan pitra yadnya bertujuan mensucikan arwah atau roh atau atma leluhurnya yang telah meninggal dunia.Atma perlu disucikan terus agarsuatu ketika dapat manunggal (bersatu) demngan ParamaAtma (Brahman atau Hyang Widhi).

Pensucian atma setelah manusia meninggal dunia diartikan sebagai upaya membebaskan atma dari ikatan-ikatannya yaitu Stula Sarira (Panca Maha Butha) dan Sukma Sarira (Panca Tan Matra).Panca Maha Butha adalah badan atau tubuh yang terdiri atas unsur-unsur padat (yaitu tulang dan daging), cair (yaitu darah,air seni,dan cairan dalam tubuh), udara (yaitu paru-paru), panas atau cahaya (yaitu sinar mata dan panas tubuh), ether atau langit-langit(yaitu urat saraf).

Panca Tan Matra adalah pengaruh semua panca indra (mata,telinga,hidung,lidah,dan kulit) terhadap atma ketika masih hidup.Pensucian atma ketika manusia masih hidup dapat dilaksanakan oleh setiap manusia dengan cara tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran,jiwa dibersihkan dengan ilmu pengetahuan dan tapa (pengendalian sad ripu),akal dibersihkan dengan kedyatmikaan atau kebijaksanaan berdasarkan ajaran agama Hindu.
Adapun pahala bagi seorang suputra dapat dijabarkan sebagai berikut :
Kirti yaitu mendapat pujian dan kerahayuan atau kesejahteraan
Mahayusa yaitu umur panjang
Bala yaitu tangguh menghadapi gejolak kehidupan
Yasa Patitingal Rahayu yaitu jasa mulia yang dikenang, diteladani, serta membuat kesejahteraan bagi keturunannya.
Pitra Yadnya terdiri atas tiga tahapan sebagai berikut : Ngaben,Nyekah, dan Mapaingkup.Apabila ketiga tahapan ini diselesaikan dalam waktu 1 hari atau 12 jam maka dinamakan Nandang Mantri .Sedangkan pada upacara yang biasa ada tenggang waktu beberapa hari antara Ngaben,Nyekah, dan Mapaingkup.Ngaben dengan ngebet tulang dinamakan Asti Wedana,sedangkan yang tidak ngebet tulang atau langsung dari jenazah yang baru meninggal dinamakan dunia disebut Sawa Sedana.
Upacara ngaben memiliki kata Ngaben yang berasal dari kata ngabuin (huruf u dan i dipolahkan menjadi e) yang berarti menjadikan abu (diperabukan).Upacvara ngaben merupakan serangkaian upacara untuk mengembalikan unsur-unsur Panca MahaButha ke tempatnya masing-masing yaitu unsur padat ke tanah (Pertiwi), unsur cair ke Apah, unsur udara ke Bayu, unsur panas atau cahaya ke Teja, dan unsur ether ke Akasa.Upacara ini dimulai dengan Ngulapin di pura Dalem,memungkah di setra,Meseh lawang di catus Pata atau di cangkem Setra, masiram, lalu Ngaskara,Narpana,lalu ngeseng dan nganyut ke Segara Agung atau Alit.Ngulapin di pura Dalem bertujuan untuk memohon ijin Ida Bethara Durga sebagai sakti Siwa bahwa sang Suputra akan melaksanakan Pitra Yadnya.

Mamungkah di Setra bertujuan untuk membuat simbolswa berupa kayu (cendana atau sebagai) atas ijin Ida bethara Mrajapati.Bagi jenazah baru simbol ini tidak digunakan.Meseh Lawang bertujuan untuk memulihkan secara simbolis cacat-cacat tubuh jenazah yang diperoleh semasa hidup.Masiram atau mabersih bertujuan untuk membersihkan sawa (mayat) dengan cara memandikan mayat.

Ngaskara adalah upacara pensucian atma tahap awal.Narpana adalah manghaturkan sang Lina (yang meninggal) sesajen seperlunya.Ngeseng sawa adalah membakar sawa di setra dirangkai dengan nyepit,nguyeg,dan ngereka abu jenazah.Upacara ngaben diakhiri dengan nganyut abu ke segara sebagai pengembalian unsur cair ke apah.Setelah ngaben status sang Lina meningkat menjadi sang Pitara.
Nyekah disebut juga Nyekar karena nama sang Pitra sudah diganti dengan nama bunga, misal sandat,cempaka,jempiring,dan sbeagainya (untuk sawa wanita), sedangkan untuk sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana,majagau,ketewel,damulir,dan sebagainya.Sering juga upacara ini dinamakan Ngeroras, yang berasal dari kata Ro (dua) dan Ras (pisah), yang secara harfiah berarti pisah dua kali.Tujuan upacara ini adalah menghilangkan Sukma Sarira atau Panca tan matra sebagai langkah kedua mensucikan atma.

Nyekah diawali dengan Ngulapin di Segara,kemudian Ngajum Sekah,lalu Ngaskara Sekah,Narpana Sekah,Ngeseng Sekah, dan Nganyut Sekah.Ngulapin di Segara bertujuan untuk mohon ijin Ida Bethara Baruna sebagai penguasa laut untuk melanjutkan upacara Pitra Yadnya .Ngajum Sekah adalah membuat simbol Panca Tan Matra yang disebut Puspa Lingga.Ngaskara Sekah adalah mendak dan mensucikan Puspa Lingga.Narpana Sekah adalah menghaturkan sesajen kepada atman yang sudah disucikan.Ngeseng sekah dilaksanakan dengan membakar Puspa Lingga sebagai simbol menghilangkan Panca Tan Matra bertujuan agar atma dapat dengan damai menuju khayangan, tidak lagi terikat dengan keduniawian.

Nganyut Sekah adalah kelanjutan dari membuang panca tan matra serta mensucikan atma dengan air dari tujuh sungai yang ada di India (Sapta Gangga), yaitu gangga, Yamuna, Serayu,kaweri,Sindu,Saraswati, dan Narmada.Ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, sehingga laut dapat dipandang sebagai perwakilan ketujuh sungai tersebut.Setelah Nyekah, ikatan atma sudah terbebas dari Panca maha Butha dan panca tan matra, sehingga yang masih melekat dan ditanggung jawabkan oleh atman ke hadapan Hyang Widhi adalah karma Wasana, yaitu baik buruknya karma (Subha Asubha Karma) sewaktu masih hidup.

Kondisi Karma Wasana inilah yang menentukan baik buruknya kehidupan dimasa yang akan datang setelah berinkarnasi (lahir kembali) ke dunia.
Upacara mapaingkup disebut juga sebagai upacara Ngerajeg Linggih, karena mepaingkup artinya menyatukan serta menstanakan, dalam hal ini menyatukan atma yang baru diupacarai dengan atma-atma yang yang sudah lama diupacarai yang berstana di Sanggah Pamerajan.Upacara ini terdiri dari dua bagian yaitu Masakapana Nilapati dan Nawur danda Kalepasan.

Masakapan Nilapati diawali dengan Ngulapin di Segara sebagai permohonan ijin kepada Ida Bhatara Baruna, kemudian Nyegara Gunung yang tujuannya mohon kesejahteraan kepada Hyang Widhi dan dilanjutkan di sangah merajan untuk proses panunggalan dan penstanaan disaksikan oleh Catur Dewata (Iswara,Brahma,Mahadewa,dan Wisnu).Bagian kedua upacara Mapaingkup adalah Nawur Danda Kalepasan yang dilaksanakan dengan persembahyangan oleh preti sentana, memohon kepada Hyang Widhi agar atma yang telah diupacarai mendapat tempat yang baik serta dimaafkan segala kesalahannya ketika amsih hidup, termasukjanji-jani sesangi atau saud-saud yang belum terbayar, agar dipulihkan serta tidak lagi menjadi beban bagi preti sentana.

Setelah mepangkur, status atma sudah menjadi Bethara Dewa Hyang atau Bethara Raja Dewata.
Setelah upacara mapaingkup atau ngerajeg linggih,dilaksanakan upacara maajar-ajar.Tujuannya adalah nagkilang Bhatara Raja Dewata ke pura pura stana para Dewa (Hyang Widhi) agar mendapat restu serta dikenal sebagai atma yang sudah disucikan.Kemiripan upacara ini seperti pelaksanaan TirtaGamana bagi manusia yang masih hidup.Adapun pura-pura yang wajib dikunjungi ketika meajar-ajar antara lain :

1. Pura Khayangan Tiga setempat
2. Kelompok pura di Lempuyang Stana Hyang Giri Jaya
3. Silayukti, stana Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah
4. dasar Bhuwana Gelgel stana Mpu Ghana
5. Pura kawitan
6. Besakih, meliputi pura Dalem Puri,Manik Mas,Pedharman masing-masing, Penataran Agung Bilamana ada kesempatan, alangkah baiknya jika dilanjutkan ke pura Uluwatu, Pulaki,Batur, Penulisan, RambutSiwi, dan sebagainya.Setelah meajar-ajar,maka selesailah seluruh rangkaian upacara Pitra yadnya.

Berdasarkan hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan upacara kematian bagi individu yang terkena salah pati adalah sama dengan kematian manusia biasa, dalam kitab suci agama hindu khususnya dalam bentuk smrti berupa lontar khususnya lontar yama purana tatwa yang merupakan salah satu naskah tradisional Bali yang memuat tentang upacara yajna agama Hindu adalah naskah Yama Purwwa Tattwa.

Naskah ini telah didokumentasikan di Kantor Dokumentasi Budaya Bali. Naskah aslinya memakai aksara Bali dan telah dilakukan alih aksara serta alih bahasa ke dalam huruf latin. Telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh tim penterjemah, yang tujuannya adalah guna memudahkan memahami isi yang terkandung di dalam naskah tersebut. Keseluruhan naskah ini (lazimnya dikenal oleh masyarakat Hindu di Bali adalah lontar) terdiri atas 16 lembar.

Berikut ini dicoba dipaparkan secara sederhana, yang           harapannya adalah dapat disimak maknanya, baik secara filosofis, teologis, maupun ritual. Secara filosofis, bahwa ada beberapa sarana utama yang dipakai dalam upacara kematian sesuai naskah Yama Purwwa Tattwa, di. antaranya : pisang jati sebagai warna, asep sebagai mata, nasi angkeb sebagai mulut, bubur pirata sebagai suara, dukut lepas sebagai dubur, cawan sebagai dahi, daun kayu sugih sebagai hidung, kusa sebagai bulu mata, jawa sebagai alis, pili-pili sebagai ulu hati, panjang ilang sebagai lidah, ending sebagai bibir, don rotan sebagai punggung, asep sebagai gusi, pengawak sebagai tulang belakang, tebu sebagai lengan, cendana sebagai tulang
kelingking, rempah-rempah sebagai inti atau sebagai atma. Panyugjug sebagai jalan, panyugjug mameri sebagai penuntun yang paling depan, baju (wastra) sebagai kulit, kain wangsul sebagai telapak kaki, topi sebagai lutut, ganjang/ganjaran berisi uang sebagai tulang lutut, sangku sebagai kantung kemih, kipas sebagai nafas, kotak sebagal daging, tiga sampir sebagai urat, dan gagadhing, emba-embanan sebagai kepala.

Kemudian secara teologis dinyatakan dalam naskah Yama Purwwa Tattwa, bahwa upacara kematian yang lazim disebut sebagai upacara ngaben (baik nyawa wedana, swasta, dan yang sejenis dalam upacara kematian) sesungguhnya ditujukan kehadapan Sang Hyang Siva (sebagai asal dan semua ciptaan di dunia ini). Sesuai sumber naskah Yama Purwwa Tattwa bahwa orang yang meninggal, dikubur di pertiwi, dan dibuatkan upacara pengabenan mendapatkan anugerah dan Sang HyangYama guna menghilangkan segala kekotoran (leteh atau dosa) sehingga roh orang yang meninggal kembali ke alam Siva.

Adapun nyasa atau simbul dan orang yang meninggal secara teologis digambarkan dengan huruf Triaksara, Omkara Mula, Rwa Bhineda yang dilengkapi dengan sesajen yang diperlukan. Selanjutnya jika roh orang yang rneninggal masih dalam keadaan sengsara, kotor (cukil daki) belum layak diupacarai ngentas, oleh karena hal demikian secara teologis mendapatkan kutukan dari Sang Hyang Haricandana (sebutan lain dari Deva Siva) untuk tinggal di dasar kawah naraka dan bukan tinggal di alam Siva.

Kutukan Sang Hyang Haricandana dilanjutkan dengan penyerahan kehadapan Deva Brahma, yang pada akhirnya diserahkan kehadapan kepada Sang Hyang Yamadipati untuk ditempatkan di kawah naraka. Kelak pada saat kelahirannya dinyatakan äkan menjelma menjadi berkaki satu, berkaki tiga, dempet, dimpil, darih (mandul), deyog, pirut (kerdil), picek, dingkil, buta, tuli, gudug (jari dan tangan terlepas karena penyakit lepra), basul (perut dan pusar menonjol), beseh (berkali-kali kencing tanpa dirasakan), agong (abong), bulai, gondong, punuk (ponok), segala cacat tubuh dideritanya, demikian keburukannya, dunia kacau, bercampur baur, dunia salah perhitungan, hujan tidak sesuai dengan musimnya, ular banyak dan tikus galak merajalela.

Sedangkan secara ritual bahwa naskah Yama Purwwa Tattwa juga memaparkan bagaimana upacara kematian, khususnya upacara Nyawa Wedana yang upakaranya terdiri atas guling bebangkit selengkapnya, sebagai penebusan, sesajen beralaskan nyiru sebanyak tiga nyiru, tetingkeban satu nyiru, untuk sedahan kawah satu nyiru, nasi garuda satu nyiru, dan ditambah pangalang-alang satu nyiru, dan lagi nasi gagak, sri kakili, anggel-anggel 22 tanding, tamelung upih 108, cunguh kawu 40, berisi nasi setengah matang, yang tiga berisi lauk kulit siput air, dan lagi yang tiga berisi lauk darah, darah bercampur abu, dan lagi taksisir, tamelung upih besar sebuah, berisi nasi lauk kulit siput air, alang-alang segenggam, darah satu limas berisi ati, bertongkat kayu ha, berisi panca kosika, yang merupakan gabungan dari daksina sebuah, pras lima, nasi putih, nasi merah, nasi kuning, nasi hitam, saji sebuah berisi lauk itik, pelengkap pahumahan lekesan 40 sebesar seperti cane dan lagi ditarnbah sajen pambuket, tumpeng berpucak manik, seperti sate panyegjeg sebagai panebasan, berisi nasi setengah matang diolesi cendana, dipancangi orti, pulakerti, dan lagi karas berisi balung, jatu kling, warna, alat-alat kaki patuk, karas berisi alat-alat tukang bangunan.

Sebagai dasar kawah, kaping berwarna sesuai dengan neptu dan sajen pelengkap berupa galahan (beràs 10 catu, telur 10 buur, uang 10 ribu, kelapa 10 butir) ditambah lagi sajen panjang ilang, cacar samah, bubur pirata serta babi seharga 555 yang dipotong dibentuk seperti hidap (wingarigun urip), daging potongan mentah, urutan angina, pala kiwa, darah 1 piring besar, benang berwarna, bokbokan garuda, benang hitam, benang merah, benang putih, dan lagi gula sakerek, kelapa setengah berisi gula kelapa sebutir, lagi kelapa setengah berisi gabah, botol 2, pelengkap wak-wakan, telor 9, nasi pulupuhan 1, nasi pujungan 1, nasi sokan 1, tuak 1 klukuh,  arak 1 beruk, air 1 brerong, sujang rentet
5 buah, dan uang tatingkeb 225, uang bebangkit 225, uang pulagembal 225, uang sedahan kawah 225, uang garuda 225, uang kaki patuk 225, uang pagu 225 uang pangalang-alang 225, uang sega dewa 2, berisi kwangen dan kwangen tersebut  berisi permata mulia, masing-masing berisi uang 225, benang 1 gulung penyarikan 5, masing-masing berisi 25. Sesantun membuat sajen sanak, nasi dadong patuk 1 kukusan, lauknya ayam gemerot angkeb 1,  caratan trisula, pane padma, payuk cakra. Sesantun nanding panyapa, bila yang utama 1700, yang sedang-sedang 700, yang kecil 500.

Demikian sekilas paparan mengenai kandungan isi dari naskah Yama Purwwa Tattwa, yang sesungguhnya sebagai pedoman bagi umat Hindu dalam melaksanakan upacara kematian atau upacara pengabenan. Inti dari naskah Yama Purwwa Tattwa sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu sebagai pedoman untuk melakukan upacara kematian, agar roh yang meninggal dapat menuju ke alam Siva, tidak sebaliknya ke alam naraka.

Secara teologis, bahwa naskah ini mengajarkan kepada umat Hindu untuk menghormati dan berbhakti kepada Deva Siva beserta dengan manifestasi Beliau. Secara ritual, bahwa naskah ini telah memaparkan beberapa peralatan, sadhana, upakara, yang digunakan untuk kelangsungan upacara kematian atau upacara ngaben bagi umat Hindu. Tentu sumber lainnya masih juga ada keterkaitan dengan naskah Yama Purwwa Tattwa yang sama-sama.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III.1. Kesimpulan

Badan yang ditingalkan oleh Atman atau jiwa itu tidak dapat diangap sampah begitu saja terus ditanam atau dibakar tanpa arti. Adanya perawatan jenazah bagi orang yang telah meningal sebagai bukti bahwa manusia itu memiliki budaya. Dalam Lontar Dharma Khuripan adanya upacara Agama bagi manusia dari saat lahir sampai meningal itu merupakan cirri perbedaan kita manusia dengan hewan. Mengenai pengertian mati maupun meningal ini dalam ajaran Hindu ada beberapa hal yang wajib kita perhatikan. Kalau dalam Sarasamusccaya 179 disebutkan orang yang dalam hidupnya tidak pernah melakukan dana punia itu sama halnya dengan mati, bedanya Ia hanya bernaFas. Kalau dalam hidup ini kita tidak pernah berbuat Dharma seperti Berdana Punia melakukan Yajna dan tapa itu sama juga dengan mati. Atau sering disebut mayat bernafas.

Salah Pati adalah salah satu bentuk kematian yang tanpa disengaja oleh suatu individu dan diluar kehendak. Fenomena ini sering terjadi dikalangan umat hindu khususnya di bali. Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 mendefinidikan bahwa salah pati adalah mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki.

Ada kasus korban meninggal tiba – tiba karena kecelakaan, seseorang yang terlempar keluar dar badan fisiknya. Dalam keadaan kesadaran sepenunya dan dalam keadaan sedang melakukan sesuatu pada saat kematiannya akan mungkin meneruskan kegiatanya sementara waktu di alam halus, karena ia tidak menyadari kematiannya. Ini desebabka karena badan astralnya telah terlepas dari badan fisiknya dengan seluruh badan etherisnya masih dalam keadann utuh yang berarti bhawa semu zat astral dan etherisnya ang sangat dekat dengan alam fisik masih mengelilingiya. Karena itu ia masih sadar sepenuhnya akan dunia fisik walapun dunia ini mulai memberi pemandangan – pemandangan yang agak berbeda.

Untunglah bahwa keadaan yang tidak menyenagkan itu tidak berkelanjutan dan segera berubah menjadi keadaan yang selaras dengan cirri – ciri orang itu, maupun dengan sifat – sifat yang didalaminya. Mereka yang selama hidupnya masih berrsifat ramah tamah, patuh, suka dan damai tentu saja tidak mempunyai daya tarik bagi lingkungan kasar dan penuh kekerasan.

Boleh dikatakan lingkingan kesadarannya buyar menghindari suasana semacam itu. Orang yang berrsifat mementingkan diri sendiri dan berhati mulia segera menjadi tidak ingat apa – apa mengenai segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sewaktu mengalami kecelakaan yang membuat ia meninggal . ia segera memasuki keadaan tidur yang sangat tenang dan serasi yang berlangsung sampai ia bangun secara wajar di alam astral yang lebih tinggi atau alam surga ke mana ia ditarik untuk mencapainya.

Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 yang telah memutuskan bagi orang mati salah pati dan ngulah pati diupacarai seperti orang mati normal dan ditambah dengan penebusan serta diupacarai di setra atau tunon yaitu dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Setiap orang meninggal harus diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu
  2. Khusus bagi yang ngulah pati, upacara/ upakara ditambah dengan banten pengulapan di tempat kejadian, perempatan/ pertigaan jalan dan cangkem setra:
  3. Banten pengulapan dipersatukan dengan sawanya baik mependem maupun atiwa- tiwa.

Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).

III.2. Saran – Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan tadi maka saya dapat simpulkan beberapa saran – saran yang konstruktif sebagai berikut :

  1. Manusia mestinya menyadari mengenai pentingnya arti kehidupan khususnya pentingnya pemahaman mengenai penjelmaan sebagai manusia.
  2. Manusia senantiasa selalu mengutamakan dan mengaplikasikan ajaran dharma dalam kehidupanya.
  3. Dalam melakukan tindakan hendaknya menimbang – nimbang terlebih dahulu agar tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.